Positive Mental Attitude
Saya pertama kali mengetahui istilah ini sekitar tahun 2010–2011 ketika salah seorang dari masa lalu saya sering mengucapkannya. Bagi yang masih awam, positive mental attitude atau PMA adalah semacam filosofi dimana kita mencoba untuk optimis dalam setiap keadaan yang ada supaya nantinya menghasilkan perubahan positif dan kita sendiri nantinya bisa gain something good. Singkatnya adalah kita berusaha menjadi orang yang optimis.
Mungkin kalau sekilas dipikir sepertinya mudah ya, cukup jadi orang yang optimis saja. Tapi prakteknya? Hmm… Susah sekali. Tapi bukan berarti mustahil. Every single person on this planet can grow as a better person each day, as long as they’re willing to do it. Semua orang mampu, tapi nggak semuanya mau.
Lalu untuk apa saya menulis artikel PMA ini? Mau memberikan ceramah ala-ala motivator? Jelas nggak. Mungkin ini semacam reminder untuk diri saya sendiri untuk selalu memiliki PMA dalam kehidupan sehari-hari, terutama di masa-masa sekarang ini dimana saya sendiri merasa mudah sekali berpikiran negatif, seolah segala sesuatunya itu trigger bagi saya.
Mungkin nggak cuma saya yang merasa begitu. Setiap kali ada masalah, inginnya ngamuk, mencari kambing hitam atau malah pingin kabur ke Timbuktu. Padahal kita tahu kalau there’s always a solution for every problem eventually, asalkan kita mau mencoba melihat lebih dekat dengan sudut pandang yang berbeda. Artikel sebelumnya yang saya tulis berjudul “Makna Pandemi” adalah contoh sederhana kita mencoba melihat suatu masalah dengan cara yang lain, lebih positif.
Sebenarnya ada beberapa langkah sederhana yang sejauh ini saya pelajari dan mencoba melakukan. Kalau ditanya apakah selalu berhasil? Nggak. Namanya juga manusia, nggak sempurna. Suatu waktu saya bisa disiplin dan melakukannya dengan baik, di waktu yang lain kalah sendiri oleh emosi dan ego.
Sebelum memasuki langkah-langkah sederhana itu, hal paling penting yang harus dilakukan dalam membangun PMA adalah mematangkan niat. Karena kalau nggak matang, setengah matang sekali pun ya nggak akan pernah bisa terjadi. Kalau ibarat rumah, ini adalah pondasi supaya nantinya apa pun yang dibangun di atasnya bisa tumbuh kuat dan bertahan dalam jangka waktu yang lama, bahkan mungkin seterusnya sampai tiada.
Jadi jangan terburu-buru ingin jadi positif dan lain sebagainya. Coba refleksi dulu, apakah anda benar-benar ingin memiliki PMA? Kalau memang masih ragu, ya dimatangkan saja dulu bukan langsung asal iya dan jalan, pondasinya nggak akan kuat, dan mungkin suatu hari anda akan berhenti di tengah jalan. Bagi saya itu namanya abu-abu, padahal dalam hidup ini ketika kita dihadapkan pada pilihan, hanya ada dua warna yaitu hitam dan putih.
Setelah mematangkan niat, kita mulai dengan baby step, yaitu percaya bahwa kita bisa berubah. Kadang society begitu kejamnya menyatakan bahwa kita buruk dan nggak akan pernah bisa berubah. Nah, sekarang kita coba pikir saja dari sudut pandang yang berbeda. Orang lain hanya bisa menilai ini dan itu, tapi diri kita sendiri lah yang selama ini tahu dan menjadi saksi apa saja sih yang sudah kita lalui, kenapa begini dan kenapa begitu. Kalau anda merasa mampu ya berarti memang mampu. Kita itu bos atas diri kita sendiri, bukan orang lain.
Lalu langkah selanjutnya adalah menahan emosi. Ini untuk manusia-manusia yang sabar mungkin mudah sekali tapi bagi orang emosional macam saya mah susahnya sebelas dua belas sama mencoba poop setelah sembelit dua minggu.
Apa yang dimaksud menahan emosi? Bukan selalu tentang amarah ya, tapi cara kita bereaksi itu kan bagian dari emosi. Dan emosi sendiri dekat dengan ego. Misal pasangan kita datang ke kita dan mengatakan bahwa dia nggak bahagia dengan kita, biasanya kita akan bereaksi dengan emosi, entah langsung mengusir dia atau malah kita menyalahkan feelings dia. Itu hal yang salah. Coba dilihat lebih dekat dengan sudut pandang yang berbeda.
Pasangan kita dengan berani datang ke kita, berkata jujur apa yang sesungguhnya dia rasakan, bukan kah itu patut diapresiasi? Mengingat betapa banyaknya pasangan yang berbohong di luar sana? Pernah nggak terpikirkan kalau reaksi kita pada akhirnya hanya membuat pasangan kita menutup diri? Dan saya rasa itu bukan arti sesungguhnya dari kata “partner”. Kalau sudah menutup diri, no sharing anymore, ujungnya sudah tertebak akan jadi seperti apa. Ya kalau masih pacaran, kalau sudah menikah? Apa mau cerai?
Nah, karena itulah kita harus menahan emosi dan ego kita, mereka satu paket. Dan jangan pernah merasa diri paling menderita, di luar sana masih banyak sekali yang jauh lebih sial dibanding kita. Dan cara ini nanti akan menuntut kita dengan mudah ke langkah berikutnya yaitu bersyukur. We can always find the light in the darkness, walau sebenarnya tetap tergantung dari point of view kita.
Masih ada banyak cara yang mendukung kita untuk memiliki PMA, tapi menurut saya three baby steps itu sudah sangat membantu kalau kita bisa mempraktekkannya dengan baik setiap hari. Ibarat kata kita mencoba untuk melubangi batu dengan satu tetes air setiap harinya. Kalau kita disiplin, suatu hari nanti batu itu akan berlubang. Dan jangan takut seandainya ada satu, dua atau bahkan tiga hari dalam sebulan dimana kita gagal mempraktekkan, nggak masalah, karena memang kita ini hanya manusia, bukan Tuhan Yang Maha Sempurna.