Makna Pandemi
Kalau baca judulnya tu rasanya jadi semacam Jay Shetty yang lagi memberikan cahaya ilahi kepada makhluk-makhluk jelata di seluruh dunia agar bisa menerima coronavirus ke dalam hidup yang singkat ini dengan hati yang ikhlas dan tulus. Tapi sayangnya saya nggak punya cahaya ilahi itu, punyanya cahaya cinta perlahan menyilaukan, itulah mimpi kehidupan kedua, mimpi itu darimana datangnya…
Okay, let’s getting serious here. Sebenernya pandemi ini nggak buruk-buruk amat sih, cuma buruk aja, tapi buruk sekali dari sisi ekonomi. Bokek setiap hari. Kebutuhan terus ada bahkan meningkat, tapi pemasukan kek nggak boker dua minggu: seret. Bukan hanya anda sendiri yang merasakan wahai pembaca yang budiman, saya juga amat sangat merasakannya!
Tapi kata pepatah itu benar adanya kalau ada hikmah di balik perkara. Saya nggak tau ya kalau di anda sekalian hikmahnya apa, tapi kalau saya malah bisa berada di “right track” dalam hal meraih mimpi, yang bahkan sebenernya nggak pernah berpikir kalau bisa secepat ini. Mungkin ini yang namanya God’s timing.
Saya akan cerita dari awal, dan mencoba mempersingkat mungkin. Karena kalau lengkap bisa jadi sinetron ratusan episodes. Ehem, jadi awal tahun 2019 saya membeli sebuah franchise produk minuman. Rasanya enak dan saya suka. Ya kalau nggak suka nggak mungkin juga sih beli franchisenya yang notabene jutaan.
Kok ceritanya langsung 2019, sebelumnya gimana? Mungkin itu yang anda tanyakan. Tapi silahkan baca judulnya, kan mau bahas pandemi Malih, jadi saya akan cerita yang berhubungan dengan pandemi aja. Kalau cerita perjalanan hidup selama satu dekade terakhir ya lama dan nggak nyambung.
Kembali ke cerita. Bisnis franchise saya bisa dibilang naik turun, karena ya namanya juga dagang. Jalanan aja suka naik turun kan apalagi jualan. Tapi hasil yang meski seadanya itu sebenernya cukup untuk hidup sehari-hari, cuma kalau dihitung lebih lanjut bisa dibilang gagal dan agak susah untuk sewa tempat baru untuk setahun ke depan.
Struggle? Jelas. Pusing? Banget. Stress? Jangan ditanya dah. Sedih? Beuh, pasti lah. Semua rasa terburuk saya alami, bahkan tekanan dari keluarga juga didapat. Rasanya kek mau give up, sampai pernah punya suicidal thoughts. Pernah juga dulu merasa menyesa, kok ya uang segitu buat kek gitu doang yang ujungnya sia-sia, kan bisa buat yang lain. Tapi ya nasi sudah jadi bubur kan, tinggal dimakan. Soalnya saya sukanya bubur putih polosan nggak pakai apa pun. Sama kek makan sate nggak pakai sambal kacang sama kecap. Aneh? Yah, anda orang yang kesekian yang berpikir begitu.
Kemudian coronavirus masuk Indonesia di awal Maret, penjualan menurun tajam sampai akhirnya April saya memilih tutup walau kontrak ruko masih sampai akhir Juni. Pendapatan dari sektor lain pun juga amburadul dan berujung dengan jobless, pengangguran cuy. Tapi ya gimana, mau protes juga nggak bisa. Tuhan sudah kasih kita hidup, masih bisa nafas sampai hari ini aja sujud syukur kan, masa ya mau protes karena pandemi? Gile lu Ndro…
Selang beberapa lama, saya seolah disadarkan sesuatu dan teringat kata salah seorang teman saya kalau Tuhan itu selalu melihat ke dalam hati kita. Mau di mulut doanya minta jadi kaya raya, tapi di hati sebenernya cuma mau hidup sederhana ya nggak akan pernah jadi kaya. Dan itulah yang terjadi di saya. Kegagalan untuk sekolah seni di luar negeri karena keterbatasan biaya dan kegagalan menjalankan bisnis beberapa kali sebenernya menuntun saya ke sesuatu yang selama ini jadi doa dalam hati saya yang terdalam.
Pandemi menyelematkan saya dari pusingnya berdagang dan mencari ruko baru untuk melanjutkan bisnis. Pandemi juga menyelematkan saya dari tekanan dalam keluarga. Pandemi pula yang menuntun saya untuk mengusahakan mimpi saya selama ini: bekerja sebagai full-time artist.
Mungkin bagi sebagian besar orang, artist itu hanya melulu soal jadi pelukis, padahal lebih dari itu. Seni sendiri punya banyak sektor. Musik, tari, rupa dan masih ada banyak hal yang lain.
Singkatnya, pekerjaan saya yang sekarang itu mimpi saya, meski masih sederhana, tapi saya sudah cukup puas. Jalur saya sudah tepat, hanya tinggal berusaha lebih dan berinovasi tiada henti. Lagipula saya cukup beruntung bisa menjalani apa yang saya suka dan menyukai apa yang saya jalani di waktu yang sama. Mungkin, suatu hari nanti saya akan bercerita lebih tentang mimpi saya ini dan bagaimana bisa menjadi kenyataan manis di tengah kepahitan hidup ini.
Nah, sekarang para pembaca budiman coba deh berpikir, pandemi menyelamatkan anda dari apa? Orang yang salah mungkin? Rencana menikah di tahun ini harus tertunda karena pandemi yang akhirnya jadi gagal menikah karena baru tau kalau pasangannya selingkuh atau punya penyakit panu tahunan? Atau mungkin pandemi menyelamatkan anda dari kumpul keluarga tahunan yang membosankan? Atau pandemi menyelamatkan anda dari pertanyaan tahunan yang paling anda benci soal kapan anda akan menikah?
Ya jawaban setiap orang pasti berbeda. Tapi satu hal yang mungkin sama untuk semua orang, yaitu kita jadi lebih aware soal kebersihan diri. Walau nggak semua orang rajin dan disiplin menjalankan protokol kesehatan, tapi saya yakin sebagian besar orang jadi rutin mencuci tangan. Dan mungkin juga rajin bersyukur atas apa pun yang dimiliki saat ini, seperti bersyukur masih bisa bernafas dengan normal.
Daaaaaannnnnnn… Hal terakhir yang mau saya sampaikan adalah hidup ini nggak pernah mudah, nggak ada yang pernah ngomong juga kalau hidup akan mudah. Kita hidup itu butuh perjuangan, makanya harus selalu pantang menyerah. Punya suicidal thoughts itu nggak salah, manusiawi kalau kita kadang kala merasa seperti itu. Salah itu kalau punya pikiran seperti itu lalu dieksekusi di kemudian hari. Sadari saja bahwa masalah itu ada untuk kita selesaikan, untuk membantu mendewasakan, membantu kita bertumbuh dan membantu kita menyadari hal-hal yang sebelumnya terlewatkan, atau sesederhana membantu kita untuk melihat segala sesuatunya lebih dekat.
Kita hidup di dunia yang namanya realita, nggak semua harus berakhir bahagia.